Minggu, 03 November 2013


Antara Cinta Dan Kematian
          Antara Putus Cinta Dan Putus hubungan dengan dunia.
Beberapa tahap yang akan dihadapi dimana orang akan mengalaminya;
          Pertama, seseorang akan menyangkal dan menyendiri, menyangkal akan kenyataan yang akan dihadapinya itu, merupakan hal yang pahit. Semua itu harus dilewati juga oleh semua orang yang bercinta dan hidup sebagai manusia.
          Kedua, Marah, orang akan marah bila mengalami hal buruk itu. Merupakan reaksi yang wajar yang akan dibuat orang.
          Ketiga, Tawar Menawar, saat seseorang mulai lelah untuk marah-marah, ia akan berusaha melakukan negosiasi alias tawar menawar. Baik dengan diri mereka sendiri ataupun langsung kepada pihak yang bersangkutan,,, dalam hal cinta ia akanb ber-nego dengan sang mantan pacar, dalam hal menghadapi kematian, ia akan ber-nego dengan Tuhan-nya.
         
Keempat, Depresi, apapun usaha yang telah ia lakukan termasuk melakukan negosiasi yang sangat dalam. Seseorang itu akan sampai pada tahap ini, dimana orang akan depresi memikirkannya. Dan semua usahanya Nampak sia-sia belaka. Dari sini seseorang harus berhati-hati, Karen aakan timbul hal-hal negative yang berbahaya, Karen aorang berada dalam kondisi yang sangat rapuh dan sangat labil.
          Kelima, Menyerah dan Pasrah, merupakan tahap terakhir seseorang yang telah melewati masa kritis dalam hidup, kegalauan dan depresi yang amat dalam, berhasil dalam bertahan, melaluinya dan akhirnya sampai pada sikap menyerah dan pasrah.
          Pengalaman, penderitaan akan cinta dan menghadapi kematian tak pernah jauh dan pasti akan menghampiri hidup kita sebagai manusia. Pengalaman, penderitaan dalam hal ini akan dilalui  manusia sejauh manusia mengalami, merasakan dan menyadarinya. 

TUGAS KULIAH


SEJARAH GEREJA KEUSKUPAN AGUNG MEDAN
Misi Awal para Misionaris sampai 1975
Dari Jesuit ke Kapusin
Sejak tahun 1922, orang-orang Katolik yang terpencar-pencar membanjiri instansi-instansi pemerintah colonial dengan petisi, supaya misi Katolik boleh bergerak ke tanah Batak. Pada tahun 1911 didirikan Prefektur Apostolik Sumatera. Satu tahun kemudian ordo Kapusin menerima seluruh Sumatera dari Serikat Yesus sebagai daerah misi mereka, yang pada waktu itu sudah ada 4220 orang Katolik yang sebagian besar adalah orang Eropa. Karena situasi saat itu yang tidak menggembirakan, sehingga Kapusin ingin melepaskan misi ini, tetapi tidak diperbolehkan oleh Roma. Daerah yang masih digarap Kapusin, yaitu Padang menjadi pusat kegiatan pertama dan pusat kedua adalah Medan. Sudah ada 600 orang Katolik dan sebuah sekolah sederhana di Tanjung Sakti. Ada lima stasi pertama yakni Padang, Kota Raja, Medan, Sungai Selan dan Tanjung Sakti dengan jumlah umat seluruhnya hampir 5000 orang yang diwarisi Kapusin dari Jesuit pada tahun 1911. Bersamaan dengan kehadiran Kapusin, di wilayah Medan hadir juga kongregasi para suster ( Fransiskan Dongen(SFD), 1923; Fransiskanes dari Santa Elisabeth(FSE), 1925; Kongregasi suster-suster Cinta Kasih dari Yesus dan Maria(KYM), 1931; Kongregasi Suster-suster Santo Yosef(KSSY), 1931 ). Pewartaan di antara orang-orang Tionghoa di Medan mendapat sambutan baik, sehingga berdirilah stasi Kristus Raja di Medan-Nusantara yang dibuka pada tahun 1924. Demikian pula di antara orang-orang Keling di Petisah misi cukup berhasil sehingga dibuka stasi Hayam Wuruk. Kemudian system paroki kelompok mulai (Tionghoa, Keling, Batak) diganti menjadiparoki territorial pada tahun 1956.
Stasi-stasi Awal di Sumatera
            Padang merupakan stasi tertua dan tempat misi Katolik yang pertama di luar Jawa. Umat katolik di Padang mencoba mencari seorang imam dari Belanda dengan dukungan Prefek di Batavia. Permintaan pertama tahun 1835 ditolak pemerintah tetapi pada tahun 1840 diangkatlah seorang imam sebagai pastor tentara. Pastor Padang melayani umat Katolik di Padang dan sekitarnya, Bukit Tinggi dan Padang Panjang dimana banyak militer. Tahun 1883 pastor ini meminta Suster-suster Belas Kasihan dari Tilburg untuk mengurus sekolah di Padang. Dari tahun 1901-1913 di Distrik Padang dipermandikan sebanyak 1276 orang anak, rata-rata 100 orang per tahun. Pada tahun 1879 ditempatkanlah seorang pastor di Medan untuk melayani orang-orang Eropa yang beragama Katolik. Pada waqktu itu ada 300 orang Katolik, tetapi pelayanan pastoral sangat minim.
            Stasi Kota Raja (Banda Aceh) didirikan semasa perang Aceh melawan Hindia Belanda mulai tahun 1873, dengan ini ikutlah bergabung Pastor Verbraak bersama para militer. Dari pusat kota Raja, pastor itu pergi tour ke seluruh daerah dimana ada militer dan menemui kelompok-kelompok kecil militer yang menjaga keamanan karena daerah Aceh masih sangat berbahaya dengan suara-suara tembakan yang sangat bising.
            Dua stasi yang lain ialah sungai Selan di Pulau Bangka dan Tanjung Sakti. Disamping pelayanan pastoral untuk orang-orang Eropa, di dua tempat ini juga ada kerasulan untuk mereka yang ‘tidak berkulit putih’. Di Bangka makin lama umat katolik-makin berkurang sejak pastor meninggalkan Bangka tahun 1899.
Pewartaan Lebih Mendalam
Dari tahun 1912 sampai 1921 sebanyak 20 orang Kapusin diutus ke Sumatera. Ketika Mathias Brans tiba di Sumatera untuk mengambil alih pimpinan pada tahun 1921, hanya 10 Kapusin yang masih tinggal. Menurut mereka hidup dan karya misi terlalu berat. Perang dunia I dan putus hubungan dengan Belanda menjadi penyebab kehidupan para misionaris memburuk. Para missioner merasa kikuk menghadapi orang eropa dalam karya pastoral, karena yang mereka temui berbeda dari umat katolik di Belanda dan mereka tidak siap untuk itu, buta akan budaya pribumi dan non pribumi. Namun para misionaris pada awal periode misi ini diutus ke daerah misi untuk ‘seumur hidup’. Setelah dua tahun dimisi ada yang pulang ke negeri asal dan ada satu yang keluar dari persaudaraan. Ada juga misionaris kapusin yang bertahan sampai 7 tahun dan 8 tahun. Tahun 1917 pimpinan propinsi Kapusin Belanda meminta dibebaskan dari tugas misi yang terlalu berat di Sumatera namun permintaan ditolak oleh Roma.
Mencari Arah Yang Tepat
Di Tanjung Sakti diletakkan dasar untuk perkembangan misi di Sumatera. Pengalaman Mathias Brans sebagai misionaris di Tanjung Sakti menjadi bekal yang sangat berharga untuk hidup seterusnya. Mereka bersama-sama mengarahkan perhatian mereka ke misi penduduk asli. Mereka belajar dari kesulitan-kesulitan dan melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada. Mgr. Brans mengarahkan misi kearah yang tepat dan memperjuangkan supaya Tanah Batak terbuka untuk Misi. Dan pada tanggal 20 Juli dia diangkat menjadi Prefekt Apostolik karena Mgr. Cluts meninggal secara mendadak. Pekerjaan pertama Prefekt ialah mengurus pembagian daerah Misi Sumatera. Dia juga mulai membenahi kesemrawutan misi. Cita-citanya ialah bagaimana agar jumlah umat beriman cepat bertambah. Beliau juga mengarahkan perhatiannya kepada kelompok orang-orang Tionghoa di pantai Barat.
Puluhan surat melayang kepada serikat-serikat religious di Eropa untuk meminta tenaga bagi Misi. Pada tahun 1923 Kongregasi Frater S. Maria Bunda yang Berbelas Kasih (Frater CMM) datang ke Sumatera dan mulai mengajar anak laki-laki. Di Kota Padang berkembang sebagai kota sekolah. Pada tahun 1923 di Bukit Tinggi juga dibangun sekolah dibawah pimpina suster KSFL. Perkembangan misi di pantai Timur tidak begitu teratur karena daerah tidah homogen dan timbul kesulitan-kesulitan. Kota terpenting ialah kota Medan, yang pada permulaan misi sangat sulit masuk. Di Deli tidak ada kelompok yang beragama Katolik. Sekolah Katolik yang pertama di Medan adalah sekolah untuk anak-anak Eropa yang dimulai oleh Suster SFD. Kemudian empat orang suster FSE diminta datang dari negri Belanda untuk berkarya di Indonensia. Mereka mulai dengan pelayanan kesehatan door to door, namun lama kelamaan semakin jelas bahwa masyarakat sangat butuh rumah sakit., Untuk itu didirikan Rumah Sakit Santa Elisabeth dan tenaga suster dari Belanda. Misi diantara orang-orang Tionghoa di Medan jauh lebih sulit berkembang dari pada di Padang. Pada tahun 1934 gereja Katolik Tionghoa di Jl. Nusantara selesai dibangun. Di kota Raja (Banda Aceh), gereja baru didirikan pada tahun 1928. Misi khusus untuk orang Tionghoa saja dimulai di Bagan Siapi-api.
Perjuangan Misi di Tanah Batak
Sejak misionaris Kapusin masuk Sumatera, kelompok-kelompok orang Batak telah menyatakan keinginannya untuk masuk agama Katolik. Para misionaris berjuang untuk memperoleh izin agar dapat masuk ke Tanah Batak, khususnya Tapanuli. Menunggu izin masuk Tapanuli para misionaris mendekati orang-orang pinggiran kota maupun secara khusus di kota. Banyak orang Batak juga menyekolahkan anaknya ke sekolah Katolik di Medan. Pada tahun 1923 misi Katolik diperbolehkan berkarya di Sibolga dan sekitarnya. Kemudian izin diperluas untuk daerah Tapanuli tahun 1933 dan Pulau Nias pada tahun 1939. Pusat misi untuk daerah Batak ada di Balige. Stasi Batak yang pertama didirikan di dekat Pematangsiantar 1931. Kehadiran Gereja Katolik dianggap ‘ancaman’ oleh pihak Gereja Protestan. Akhirnya pada tahun 1934 Mgr. Brans menerima surat izin dari Pemerintah Kerajaan Belanda untuk memasuki daerah Tapanuli dan memulai misi diantara orang-orang Batak.
Misi di Tanah Batak sampai Masa Pengasingan
            Pastor Sybrandus van Rossum adalah pastor pertama masuk Balige dan memilih Balige sebagai pusat Misi Katolik. Masalah perbedaan antara agama protestan dengan Katolik akan dihadapi para misionaris sepanjang sejarah misi. Demikian juga keinginan untuk maju, antara lain dengan pendidikan harus ditanggapi para misionaris dengan tepat. Mereka mau berdiskusi dengan pastor dengan pertanyaan yang berkisar pada: Maria, selibat, infalibilitas Paus, dan keuangan Gereja. Pastor menjawab dengan ramah, tajam tapi lucu, sambil membagi-bagikan buku kecil tentang agama Katolik. Sesudah satu tahun Pastor Sybrandus di Balige, sebanyak 50 orang Batak masuk Gereja Katolik. Tahuna 1936 pastor Diego van den Biggelaar masuk Pulau Samosir dan membuka posnya di Simbolon, orang orang datang berduyun-duyun dari Samosir, Palipi dan Urat. Stasi Sawah dua diurus beberapa lama dari pematang siantar, P. Elpidius van Duijnhoven. Walalupun cukup banyak tantangan, misi Katolik berkembang pesat dimana-mana. Tidak dibutuhkan propaganda dan kampanye dari pihak misionaris. Jumlah stasi dan umat terus bertambah, misi kekurangan tenaga dan uang. Pada tahun 1937 di Vikariat Apostolik Padang sudah ada 40 orang Kapusin, 25 Frater CMM, dan 180 orang suster dari enak kongregasi. Pastor Chrysologus Timmermans mengadakan korespondensi dengan orang-orang Nias yang minta kedatangan Kapusin. Sejak terbukanya Tanah Batak bagi misi, kelompok-kelompok desa atau marga diterima masuk Gereja Katolik. Guru-guru sekolah Katolik umumnya sudah ikut mengajar agama dikampung-kampung. Akibat perang yang dimulai Hitler di Eropa semakin meluas sehingga melibatkan Amerika dan Jepang di Asia. Indonesia mulai goncang dan para misionaris mulai merasakan akibatnya. Sejak Mei 1940 semua hubungan dengan Negri Belanda terputus sama sekali. Misionaris baru tidak dating lagi. Demikian pula bantuan financial dan perlengkapan tidak datang lagi dari Eropa. Mulailah Masa Pengasingan.
Masa Penawanan Jepang dan Pengasingan
Penawanan para misionaris Kapusin tidak terjadi sekaligus tapi sesuai dengan tibanya Jepang di tempat para misionaris. Dari pengakuan banyak misionaris ternyata masa penawanan dan pengasingan itu ada juga hikmahnya. Masa ini merupakan retret panjang dan masa tobat. Setelah sekian lama ditolak dan kemanusiaannya diinjak, mereka menjadi sadar bahwa mereka selama ini berlaku kolonialis dan otoriter dalam pendekatannya kepada bangsa pribumi yang dilayaninya. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, suasana semakin panas dan gawat. Terbentuklah kelompok-kelompok yang mempertahankan kemerdekaannya, maka dipedalaman tidak aman bagi orang asing. Bagi para misionaris, kesempatan ini digunakan untuk cuti dan memulihkan kesehatan setelah tiga setengah tahun hidup berat di pengasingan sambil menunggu keadaan aman dan diizinkan kembali ke pos masing-masing.
            Mgr. Brans berusaha agar para misionaris dapat segera kembali ke daerah misi yang sudah begitu lama terlantar. Akhirnya ditempuh jalan lain, dimohon dengan sangat agar imam-imam pribumi dari Jawa ditugaskan untuk mengunjungi daerah misi di Sumatera. Pada akhir tahun 1949 dan awal tahun 1950 semua serdadu regular Belanda kembali ke tanah airnya. Suasana ini menegangkan para misionaris. Misionaris harus memilih tinggal di Indonesia atau atau pulang ke negri asal. Dengan tegas Mgr. Brans menjawab: TINGGAL! Semua memberanikan diri dan memutuskan tinggal dan bergabung dengan umat pribumi menghormati merah putih dan berseru:Merdeka! Tidak jelas apa yang mendasari ini. Yang jelas: Demi Kerajaan Allah. Setelah semua misionaris dibebaskan dari penawanan, perhatian lebih dipusatkan pada usaha-usaha dikota-kota, sekolah dan asrama mendapat perhatian di Medan, Siantar, Padang. Pada tahun 1941, Roma memutuskan memindahkan takhta Vikariat Apistolik dari Padang ke Medan. Namun karena pergolakan, Mgr. Brans pindah dari Padang ke Medan pada tanggal 3 Januari 1946, lima tahun setelah keputusan Roma.
Misi Berkembang Pesat (1950-1961)
            Pada awal tahun 1950 para misionaris diizinkan masuk kampong hingga ke pedalaman, umat menyambut dengan kegembiraan karena kesetiaan para misionaris demi Kerajaan Allah. Semangat orang Batak masuk katolik membuat misi kewalahan. Dalam waktu 4 bulan sajasebanyak 5.000 orang dibaptis. Banyak stasi-stasi baru didirikan dan daerah-daerah pedalaman dan dipandang sebelah mata seperti Tanah Karo , Nias mengalami pertambahan umat yang pesat. Menghadapi itu semua, Mgr. Brans mengubah petunjuknya dari “Cari kontak” menjadi” Lopen en Dopen” (Berjalan dan Membaptis). Meskipun para misionaris tidak terlalu yakin akan motivasi orang Batak masuk Katolik.
Tahun 1953 mgr. Brans merayakan Pesta Emas Imamatnya, Uskup tua si pembangun misi Batak kembali ke Belanda setelah memimpin misi selama 35 tahun. Bakal pengganti Mgr. Brans sendiri telah dipersiapkan, yaitu Ferrarius van den Hurk. Kemudian timbullah ketegangan Indonesia dengan Belanda dalam perebutan Irian Barat. Sementara ketegangan politik itu belum berakhir, pecah pulapemberontakan PRRI PERMESTA yang menyulitkan posisi para misionaris ditengah umatnya. Salah satu tindakan berani Mgr. Brans ialah membuka Seminari di Padang tahun 1950 meskipun terkesan terlalu dini. Namun beliau teguh dalm tekadnya dan Rumah Yatim Piatu di Padang diubah menjadi Seminari. Pius Datubara adalah salah satu dari frater-frater yang mulai filsafat tahun 1958 yang kemusian menjadiimam dan uskup Batak yang pertama. Masa perkembangan umat yang pesat itu ditandai dengan laju pertambahan rata-rata 10% per tahun, tapi kekurangan tenaga misionaris menjadi persoalan tetap, dibandingkan dengan pertambahan umat yang begitu tinggi.
Masa Transisi: Pendirian KAM
            Selanjutnya pada tahun1961 HierarkiIndonesia didirikan dan Vikariat Apostolik Medan ditetapkan menjadi Keuskupan Agung Medan. Pada waktu ituumat berjumlah 95.433 orang, boleh dikatakan masih generasi pertama. Peralihan pengelolaan Keuskupan dari ius commisionis kepada ius mandati. Seyogiyanya Propinsi Kapusin Belanda tidak lagi bertanggungjawab penuh atas pelayanan daerah misi Sumatera Utara. Dalam bidang financial pun KAM tergantung dari Belanda. Hal kedewasaan hidup iman masih jauh dari yang diharafkan. Menjadi tantangan besar Kapusin Belanda adalah bagaimana memacu Gereja, yang diatas kertas sudah mandiri, padahal kenyataan masih pelan-pelan akan mandiri. Mgr. Ferrarius berusaha mencari tenaga imam untuk melayani umat. Tanpa disengaja munculah keragaman tarekat yang bekerja di KAM. Usaha kemandirian dalam keuangan pun mulai dirintis. Usaha-usaha pematangan hidup beriman dipusatkan pada pembinaan pemuka-pemuka jemaat melalui kursus-kursus. Semboyan “Lopen en Dopen” diganti dengan “pendalaman iman”. Selain usaha kemandirian Gereja, pertambahan dan perpindahan umat harus juga ditanggapi.
            Proses Indonesianisasi dirasa p[erlu digalakkan. Gereja tidak selamanya akan dilayani oleh para misionaris asing, dan bahwa lambat laun Gereja akan mempunyai wajah Indonesia. Setelah konsili mengizinkan pemakaian bahasa setempat dalam liturgy yang sebelumnya bahasa Latin, muncullah dari PWI Liturgi Ibadat Harian dalam bahasa Indonesia. P. Oscar Nuyten menerjemahkan liturgy Ekaristi lengkap dalam bahasa Toba, P. Kleopas van Laarhoven membuat dalam bahasa Karo dan P. Evaristus dalam bahasa Simalungun. Pada rapat misionaris April 1970 untuk pertamakali dipakai bahasa Indonesia dalam rapat dan notulen rapat juga pada rapat Coetus ke-12 dibicarakan secara mendalam peralihan kepemimpinan Keuskupan kepada tenaga-tenaga Indonesia. Mgr. ferrarius berprinsip dengan jelas dalam peralihan kepemimpinan bawha bila seorang pribumi sanggup memegang jabatan kunci dan pokok, dia harus didahulukan dari saudara asing yang mungkin lebuh sanggup. Maka secepat mungkin paroki-paroki “penting”  diserahkan kepada imam Indonesia. Mgr. Pius yang ditahbiskan menjadi uskup pada tanggal 29 Juni 1975 mulai turut memegang pimpinan Keuskupan bersama Mgr. Ferrarius van den Hurk. Pada tanggal 15 Agustus 1976 takhta Uskup Agung Medan diserahkan kepada Mgr. Pius Datubara dan Uskup lama Ferrarius kembali ke Nederland. Sejak itu, dengan mitra lengkap dan tongkat tegak Mgr. Alfred Gonti Pius datubara, OFM Cap. Mulai menggembalakan umat di Keuskupan Agung Medan.
Komentar :
Omnibus Omnia menampilkan keberadaab Gereja, keyakinan teologis dan pastoralnya yang terbungkus rapi dalam sejarah KAM. Terkhususnya untuk Bab 1, kilas balik sejarah Gereja KAM: misi awal para misionaris sampai 1975, dinarasikan dengan menarik. Kesan pertama pembaca sangat sulit bila membaca narasi dalam buku ini, namun setelah dibedah, pembaca akan mampu menemukan hal-hal menarik tentang sejarah yang ditulis dalam buku ini. Selain sejarah itu sangatlah penting untuk berpijak ke masa depan, sejarah juga merupakan sebuah permenungan yang nyata dan punya nilai tersendiri bagi para pembacanya kelak. Salam.