SEJARAH GEREJA KEUSKUPAN AGUNG MEDAN
Misi Awal para
Misionaris sampai 1975
Dari Jesuit ke Kapusin
Sejak tahun 1922,
orang-orang Katolik yang terpencar-pencar membanjiri instansi-instansi
pemerintah colonial dengan petisi, supaya misi Katolik boleh bergerak ke tanah
Batak. Pada tahun 1911 didirikan Prefektur Apostolik Sumatera. Satu tahun
kemudian ordo Kapusin menerima seluruh Sumatera dari Serikat Yesus sebagai
daerah misi mereka, yang pada waktu itu sudah ada 4220 orang Katolik yang
sebagian besar adalah orang Eropa. Karena situasi saat itu yang tidak
menggembirakan, sehingga Kapusin ingin melepaskan misi ini, tetapi tidak
diperbolehkan oleh Roma. Daerah yang masih digarap Kapusin, yaitu Padang
menjadi pusat kegiatan pertama dan pusat kedua adalah Medan. Sudah ada 600
orang Katolik dan sebuah sekolah sederhana di Tanjung Sakti. Ada lima stasi
pertama yakni Padang, Kota Raja, Medan, Sungai Selan dan Tanjung Sakti dengan
jumlah umat seluruhnya hampir 5000 orang yang diwarisi Kapusin dari Jesuit pada
tahun 1911. Bersamaan dengan kehadiran Kapusin, di wilayah Medan hadir juga
kongregasi para suster ( Fransiskan Dongen(SFD), 1923; Fransiskanes dari Santa
Elisabeth(FSE), 1925; Kongregasi suster-suster Cinta Kasih dari Yesus dan
Maria(KYM), 1931; Kongregasi Suster-suster Santo Yosef(KSSY), 1931 ). Pewartaan
di antara orang-orang Tionghoa di Medan mendapat sambutan baik, sehingga
berdirilah stasi Kristus Raja di Medan-Nusantara yang dibuka pada tahun 1924.
Demikian pula di antara orang-orang Keling di Petisah misi cukup berhasil
sehingga dibuka stasi Hayam Wuruk. Kemudian system paroki kelompok mulai
(Tionghoa, Keling, Batak) diganti menjadiparoki territorial pada tahun 1956.
Stasi-stasi Awal di Sumatera
Padang merupakan
stasi tertua dan tempat misi Katolik yang pertama di luar Jawa. Umat katolik di
Padang mencoba mencari seorang imam dari Belanda dengan dukungan Prefek di
Batavia. Permintaan pertama tahun 1835 ditolak pemerintah tetapi pada tahun
1840 diangkatlah seorang imam sebagai pastor tentara. Pastor Padang melayani
umat Katolik di Padang dan sekitarnya, Bukit Tinggi dan Padang Panjang dimana
banyak militer. Tahun 1883 pastor ini meminta Suster-suster Belas Kasihan dari
Tilburg untuk mengurus sekolah di Padang. Dari tahun 1901-1913 di Distrik
Padang dipermandikan sebanyak 1276 orang anak, rata-rata 100 orang per tahun.
Pada tahun 1879 ditempatkanlah seorang pastor di Medan untuk melayani
orang-orang Eropa yang beragama Katolik. Pada waqktu itu ada 300 orang Katolik,
tetapi pelayanan pastoral sangat minim.
Stasi Kota Raja (Banda Aceh)
didirikan semasa perang Aceh melawan Hindia Belanda mulai tahun 1873, dengan
ini ikutlah bergabung Pastor Verbraak bersama para militer. Dari pusat kota
Raja, pastor itu pergi tour ke seluruh daerah dimana ada militer dan menemui
kelompok-kelompok kecil militer yang menjaga keamanan karena daerah Aceh masih
sangat berbahaya dengan suara-suara tembakan yang sangat bising.
Dua stasi yang lain ialah sungai
Selan di Pulau Bangka dan Tanjung Sakti. Disamping pelayanan pastoral untuk
orang-orang Eropa, di dua tempat ini juga ada kerasulan untuk mereka yang
‘tidak berkulit putih’. Di Bangka makin lama umat katolik-makin berkurang sejak
pastor meninggalkan Bangka tahun 1899.
Pewartaan Lebih Mendalam
Dari tahun 1912
sampai 1921 sebanyak 20 orang Kapusin diutus ke Sumatera. Ketika Mathias Brans
tiba di Sumatera untuk mengambil alih pimpinan pada tahun 1921, hanya 10
Kapusin yang masih tinggal. Menurut mereka hidup dan karya misi terlalu berat.
Perang dunia I dan putus hubungan dengan Belanda menjadi penyebab kehidupan
para misionaris memburuk. Para missioner merasa kikuk menghadapi orang eropa dalam
karya pastoral, karena yang mereka temui berbeda dari umat katolik di Belanda
dan mereka tidak siap untuk itu, buta akan budaya pribumi dan non pribumi.
Namun para misionaris pada awal periode misi ini diutus ke daerah misi untuk
‘seumur hidup’. Setelah dua tahun dimisi ada yang pulang ke negeri asal dan ada
satu yang keluar dari persaudaraan. Ada juga misionaris kapusin yang bertahan
sampai 7 tahun dan 8 tahun. Tahun 1917 pimpinan propinsi Kapusin Belanda
meminta dibebaskan dari tugas misi yang terlalu berat di Sumatera namun
permintaan ditolak oleh Roma.
Mencari Arah Yang Tepat
Di Tanjung Sakti
diletakkan dasar untuk perkembangan misi di Sumatera. Pengalaman Mathias Brans
sebagai misionaris di Tanjung Sakti menjadi bekal yang sangat berharga untuk
hidup seterusnya. Mereka bersama-sama mengarahkan perhatian mereka ke misi
penduduk asli. Mereka belajar dari kesulitan-kesulitan dan melihat
kemungkinan-kemungkinan yang ada. Mgr. Brans mengarahkan misi kearah yang tepat
dan memperjuangkan supaya Tanah Batak terbuka untuk Misi. Dan pada tanggal 20
Juli dia diangkat menjadi Prefekt Apostolik karena Mgr. Cluts meninggal secara
mendadak. Pekerjaan pertama Prefekt ialah mengurus pembagian daerah Misi
Sumatera. Dia juga mulai membenahi kesemrawutan misi. Cita-citanya ialah
bagaimana agar jumlah umat beriman cepat bertambah. Beliau juga mengarahkan
perhatiannya kepada kelompok orang-orang Tionghoa di pantai Barat.
Puluhan surat
melayang kepada serikat-serikat religious di Eropa untuk meminta tenaga bagi
Misi. Pada tahun 1923 Kongregasi Frater S. Maria Bunda yang Berbelas Kasih
(Frater CMM) datang ke Sumatera dan mulai mengajar anak laki-laki. Di Kota
Padang berkembang sebagai kota sekolah. Pada tahun 1923 di Bukit Tinggi juga
dibangun sekolah dibawah pimpina suster KSFL. Perkembangan misi di pantai Timur
tidak begitu teratur karena daerah tidah homogen dan timbul kesulitan-kesulitan.
Kota terpenting ialah kota Medan, yang pada permulaan misi sangat sulit masuk.
Di Deli tidak ada kelompok yang beragama Katolik. Sekolah Katolik yang pertama
di Medan adalah sekolah untuk anak-anak Eropa yang dimulai oleh Suster SFD.
Kemudian empat orang suster FSE diminta datang dari negri Belanda untuk
berkarya di Indonensia. Mereka mulai dengan pelayanan kesehatan door to door, namun lama kelamaan
semakin jelas bahwa masyarakat sangat butuh rumah sakit., Untuk itu didirikan
Rumah Sakit Santa Elisabeth dan tenaga suster dari Belanda. Misi diantara orang-orang
Tionghoa di Medan jauh lebih sulit berkembang dari pada di Padang. Pada tahun
1934 gereja Katolik Tionghoa di Jl. Nusantara selesai dibangun. Di kota Raja
(Banda Aceh), gereja baru didirikan pada tahun 1928. Misi khusus untuk orang
Tionghoa saja dimulai di Bagan Siapi-api.
Perjuangan Misi di Tanah Batak
Sejak misionaris
Kapusin masuk Sumatera, kelompok-kelompok orang Batak telah menyatakan
keinginannya untuk masuk agama Katolik. Para misionaris berjuang untuk
memperoleh izin agar dapat masuk ke Tanah Batak, khususnya Tapanuli. Menunggu
izin masuk Tapanuli para misionaris mendekati orang-orang pinggiran kota maupun
secara khusus di kota. Banyak orang Batak juga menyekolahkan anaknya ke sekolah
Katolik di Medan. Pada tahun 1923 misi Katolik diperbolehkan berkarya di
Sibolga dan sekitarnya. Kemudian izin diperluas untuk daerah Tapanuli tahun
1933 dan Pulau Nias pada tahun 1939. Pusat misi untuk daerah Batak ada di
Balige. Stasi Batak yang pertama didirikan di dekat Pematangsiantar 1931.
Kehadiran Gereja Katolik dianggap ‘ancaman’ oleh pihak Gereja Protestan.
Akhirnya pada tahun 1934 Mgr. Brans menerima surat izin dari Pemerintah
Kerajaan Belanda untuk memasuki daerah Tapanuli dan memulai misi diantara
orang-orang Batak.
Misi di Tanah Batak sampai Masa Pengasingan
Pastor Sybrandus van
Rossum adalah pastor pertama masuk Balige dan memilih Balige sebagai pusat Misi
Katolik. Masalah perbedaan antara agama protestan dengan Katolik akan dihadapi
para misionaris sepanjang sejarah misi. Demikian juga keinginan untuk maju,
antara lain dengan pendidikan harus ditanggapi para misionaris dengan tepat.
Mereka mau berdiskusi dengan pastor dengan pertanyaan yang berkisar pada:
Maria, selibat, infalibilitas Paus, dan keuangan Gereja. Pastor menjawab dengan
ramah, tajam tapi lucu, sambil membagi-bagikan buku kecil tentang agama
Katolik. Sesudah satu tahun Pastor Sybrandus di Balige, sebanyak 50 orang Batak
masuk Gereja Katolik. Tahuna 1936 pastor Diego van den Biggelaar masuk Pulau
Samosir dan membuka posnya di Simbolon, orang orang datang berduyun-duyun dari
Samosir, Palipi dan Urat. Stasi Sawah dua diurus beberapa lama dari pematang
siantar, P. Elpidius van Duijnhoven. Walalupun cukup banyak tantangan, misi
Katolik berkembang pesat dimana-mana. Tidak dibutuhkan propaganda dan kampanye
dari pihak misionaris. Jumlah stasi dan umat terus bertambah, misi kekurangan
tenaga dan uang. Pada tahun 1937 di Vikariat Apostolik Padang sudah ada 40
orang Kapusin, 25 Frater CMM, dan 180 orang suster dari enak kongregasi. Pastor
Chrysologus Timmermans mengadakan korespondensi dengan orang-orang Nias yang
minta kedatangan Kapusin. Sejak terbukanya Tanah Batak bagi misi,
kelompok-kelompok desa atau marga diterima masuk Gereja Katolik. Guru-guru
sekolah Katolik umumnya sudah ikut mengajar agama dikampung-kampung. Akibat perang
yang dimulai Hitler di Eropa semakin meluas sehingga melibatkan Amerika dan
Jepang di Asia. Indonesia mulai goncang dan para misionaris mulai merasakan
akibatnya. Sejak Mei 1940 semua hubungan dengan Negri Belanda terputus sama
sekali. Misionaris baru tidak dating lagi. Demikian pula bantuan financial dan
perlengkapan tidak datang lagi dari Eropa. Mulailah Masa Pengasingan.
Masa Penawanan Jepang dan Pengasingan
Penawanan para
misionaris Kapusin tidak terjadi sekaligus tapi sesuai dengan tibanya Jepang di
tempat para misionaris. Dari pengakuan banyak misionaris ternyata masa
penawanan dan pengasingan itu ada juga hikmahnya. Masa ini merupakan retret
panjang dan masa tobat. Setelah sekian lama ditolak dan kemanusiaannya diinjak,
mereka menjadi sadar bahwa mereka selama ini berlaku kolonialis dan otoriter
dalam pendekatannya kepada bangsa pribumi yang dilayaninya. Setelah proklamasi
kemerdekaan Indonesia, suasana semakin panas dan gawat. Terbentuklah
kelompok-kelompok yang mempertahankan kemerdekaannya, maka dipedalaman tidak
aman bagi orang asing. Bagi para misionaris, kesempatan ini digunakan untuk
cuti dan memulihkan kesehatan setelah tiga setengah tahun hidup berat di
pengasingan sambil menunggu keadaan aman dan diizinkan kembali ke pos
masing-masing.
Mgr. Brans berusaha agar para
misionaris dapat segera kembali ke daerah misi yang sudah begitu lama
terlantar. Akhirnya ditempuh jalan lain, dimohon dengan sangat agar imam-imam
pribumi dari Jawa ditugaskan untuk mengunjungi daerah misi di Sumatera. Pada
akhir tahun 1949 dan awal tahun 1950 semua serdadu regular Belanda kembali ke
tanah airnya. Suasana ini menegangkan para misionaris. Misionaris harus memilih
tinggal di Indonesia atau atau pulang ke negri asal. Dengan tegas Mgr. Brans
menjawab: TINGGAL! Semua memberanikan diri dan memutuskan tinggal dan bergabung
dengan umat pribumi menghormati merah putih dan berseru:Merdeka! Tidak jelas
apa yang mendasari ini. Yang jelas: Demi Kerajaan Allah. Setelah semua
misionaris dibebaskan dari penawanan, perhatian lebih dipusatkan pada
usaha-usaha dikota-kota, sekolah dan asrama mendapat perhatian di Medan,
Siantar, Padang. Pada tahun 1941, Roma memutuskan memindahkan takhta Vikariat
Apistolik dari Padang ke Medan. Namun karena pergolakan, Mgr. Brans pindah dari
Padang ke Medan pada tanggal 3 Januari 1946, lima tahun setelah keputusan Roma.
Misi Berkembang Pesat (1950-1961)
Pada awal tahun 1950
para misionaris diizinkan masuk kampong hingga ke pedalaman, umat menyambut
dengan kegembiraan karena kesetiaan para misionaris demi Kerajaan Allah.
Semangat orang Batak masuk katolik membuat misi kewalahan. Dalam waktu 4 bulan
sajasebanyak 5.000 orang dibaptis. Banyak stasi-stasi baru didirikan dan
daerah-daerah pedalaman dan dipandang sebelah mata seperti Tanah Karo , Nias
mengalami pertambahan umat yang pesat. Menghadapi itu semua, Mgr. Brans
mengubah petunjuknya dari “Cari kontak” menjadi” Lopen en Dopen” (Berjalan dan
Membaptis). Meskipun para misionaris tidak terlalu yakin akan motivasi orang
Batak masuk Katolik.
Tahun 1953 mgr.
Brans merayakan Pesta Emas Imamatnya, Uskup tua si pembangun misi Batak kembali
ke Belanda setelah memimpin misi selama 35 tahun. Bakal pengganti Mgr. Brans
sendiri telah dipersiapkan, yaitu Ferrarius van den Hurk. Kemudian timbullah
ketegangan Indonesia dengan Belanda dalam perebutan Irian Barat. Sementara
ketegangan politik itu belum berakhir, pecah pulapemberontakan PRRI PERMESTA
yang menyulitkan posisi para misionaris ditengah umatnya. Salah satu tindakan
berani Mgr. Brans ialah membuka Seminari di Padang tahun 1950 meskipun terkesan
terlalu dini. Namun beliau teguh dalm tekadnya dan Rumah Yatim Piatu di Padang
diubah menjadi Seminari. Pius Datubara adalah salah satu dari frater-frater
yang mulai filsafat tahun 1958 yang kemusian menjadiimam dan uskup Batak yang
pertama. Masa perkembangan umat yang pesat itu ditandai dengan laju pertambahan
rata-rata 10% per tahun, tapi kekurangan tenaga misionaris menjadi persoalan
tetap, dibandingkan dengan pertambahan umat yang begitu tinggi.
Masa Transisi: Pendirian KAM
Selanjutnya pada tahun1961
HierarkiIndonesia didirikan dan Vikariat Apostolik Medan ditetapkan menjadi
Keuskupan Agung Medan. Pada waktu ituumat berjumlah 95.433 orang, boleh
dikatakan masih generasi pertama. Peralihan pengelolaan Keuskupan dari ius
commisionis kepada ius mandati. Seyogiyanya Propinsi Kapusin Belanda tidak lagi
bertanggungjawab penuh atas pelayanan daerah misi Sumatera Utara. Dalam bidang
financial pun KAM tergantung dari Belanda. Hal kedewasaan hidup iman masih jauh
dari yang diharafkan. Menjadi tantangan besar Kapusin Belanda adalah bagaimana
memacu Gereja, yang diatas kertas sudah mandiri, padahal kenyataan masih
pelan-pelan akan mandiri. Mgr. Ferrarius berusaha mencari tenaga imam untuk
melayani umat. Tanpa disengaja munculah keragaman tarekat yang bekerja di KAM.
Usaha kemandirian dalam keuangan pun mulai dirintis. Usaha-usaha pematangan
hidup beriman dipusatkan pada pembinaan pemuka-pemuka jemaat melalui
kursus-kursus. Semboyan “Lopen en Dopen” diganti dengan “pendalaman iman”.
Selain usaha kemandirian Gereja, pertambahan dan perpindahan umat harus juga
ditanggapi.
Proses Indonesianisasi dirasa p[erlu
digalakkan. Gereja tidak selamanya akan dilayani oleh para misionaris asing,
dan bahwa lambat laun Gereja akan mempunyai wajah Indonesia. Setelah konsili
mengizinkan pemakaian bahasa setempat dalam liturgy yang sebelumnya bahasa
Latin, muncullah dari PWI Liturgi Ibadat Harian dalam bahasa Indonesia. P.
Oscar Nuyten menerjemahkan liturgy Ekaristi lengkap dalam bahasa Toba, P.
Kleopas van Laarhoven membuat dalam bahasa Karo dan P. Evaristus dalam bahasa
Simalungun. Pada rapat misionaris April 1970 untuk pertamakali dipakai bahasa
Indonesia dalam rapat dan notulen rapat juga pada rapat Coetus ke-12
dibicarakan secara mendalam peralihan kepemimpinan Keuskupan kepada
tenaga-tenaga Indonesia. Mgr. ferrarius berprinsip dengan jelas dalam peralihan
kepemimpinan bawha bila seorang pribumi sanggup memegang jabatan kunci dan
pokok, dia harus didahulukan dari saudara asing yang mungkin lebuh sanggup.
Maka secepat mungkin paroki-paroki “penting”
diserahkan kepada imam Indonesia. Mgr. Pius yang ditahbiskan menjadi
uskup pada tanggal 29 Juni 1975 mulai turut memegang pimpinan Keuskupan bersama
Mgr. Ferrarius van den Hurk. Pada tanggal 15 Agustus 1976 takhta Uskup Agung
Medan diserahkan kepada Mgr. Pius Datubara dan Uskup lama Ferrarius kembali ke
Nederland. Sejak itu, dengan mitra lengkap dan tongkat tegak Mgr. Alfred Gonti
Pius datubara, OFM Cap. Mulai menggembalakan umat di Keuskupan Agung Medan.
Komentar :
Omnibus Omnia menampilkan keberadaab Gereja, keyakinan
teologis dan pastoralnya yang terbungkus rapi dalam sejarah KAM. Terkhususnya
untuk Bab 1, kilas balik sejarah Gereja KAM: misi awal para misionaris sampai
1975, dinarasikan dengan menarik. Kesan pertama pembaca sangat sulit bila
membaca narasi dalam buku ini, namun setelah dibedah, pembaca akan mampu
menemukan hal-hal menarik tentang sejarah yang ditulis dalam buku ini. Selain
sejarah itu sangatlah penting untuk berpijak ke masa depan, sejarah juga
merupakan sebuah permenungan yang nyata dan punya nilai tersendiri bagi para
pembacanya kelak. Salam.